Kisah Cinta, Persahabatan, dan Kecoa Palsu di Warung Pak Achwan

Halo, pembaca setia blog Kumpulan Tulisan 25! Kali ini, kami akan menghadirkan sebuah cerita pendek yang penuh warna tentang kehidupan remaja, persahabatan, dan cinta yang tak terduga. Cerita ini akan membawa kita ke dalam suasana kecil di depan sekolah, di mana seorang pemuda bernama Furqon dan seorang gadis bernama Nisa menemukan cinta mereka di warung soto Pak Achwan. Namun, di balik cerita cinta manis mereka, ada isu yang muncul—isu kecoa di bakso Pak Achwan yang melemparkan tantangan pada persahabatan mereka.

Baca terus untuk mengikuti petualangan remaja ini yang penuh intrik, kejujuran, dan kebijaksanaan. Bagaimana mereka mengatasi masalah dan mendewasakan diri dalam menghadapi isu yang mengancam warung favorit mereka? Mari kita mulai perjalanan ini bersama-sama.

Sudah hampir satu minggu atau tepatnya enam hari, warung milik Pak Achwan yang ada di depan sekolah tidak buka. Padahal kalau warung itu buka, dan kebetulan sekolah lagi istirahat, wah, ramainya bukan main seperti anak-anak burung yang lagi dikasih makan sama induknya. Ada yang makan soto, bakso, es teh, dan lain-lainnya, sampai-sampai terkadang Pak Achwan dan istrinya kebingungan.

Saya sejak kelas satu sampai sekarang kelas tiga sudah mengenal baik dengan Pak Achwan. Dia orang baik dan penyabar, walaupun tidak jarang ia melayani anak-anak sekolah yang suka nakal, yang sering makan kue tiga tapi bayarnya dua, dia tetap sabar dan mengalah.

Dengan tidak bukanya warung Pak Achwan, kami (saya dan kawan-kawan) merasa kehilangan pangkalan yang strategis. Karena warung Pak Achwan selain tempat untuk jajan, juga tempat istirahat dan mejeng anak-anak sekolah kami apabila jam sekolah kebetulan lagi kosong karena gurunya lagi rapat (tidak tahu guru-guru kami sering pada rapat).

Setelah jam terakhir usai, ada rasa ingin tahu kenapa Pak Achwan tidak buka. Maka saya putuskan untuk mampir dulu ke rumah Pak Achwan. Kebetulan Pak Achwan lagi duduk sambil menghisap rokok. Pak Achwan mempersilahkan saya masuk.

"Ada apa nak Furqon, kok pulang sekolah terus mampir ke sini?"

"Ah, tidak ada apa-apa pak, cuma kangen saja sama soto Pak Achwan, kenapa kok warung Pak Achwan sudah beberapa hari tidak buka?"

Pak Achwan menghisap rokoknya lebih dalam.

“Lho, nak Furqon, apa tidak tahu? Kan beberapa hari sebelum warung ini tutup, anak-anak sudah jarang yang ke sini, paling kalau ke sini mereka cuma pada ngobrol saja, tidak jajan apa-apa."

“Memangnya anak-anak itu kenapa pak?"

“Yah, mana bapak tahu? itu kan urusan mereka, mau pada beli atau tidak itu terserah, tapi kalau mereka terus menerus tidak membeli, mendingan warungnya ditutup saja, siapa yang mau beli kalau bukan anak-anak di sekolah ini?"

Setelah mendengar tutur kata Pak Achwan, saya merasa iba karena warung itu sebagai penopang ekonomi keluarganya. Kalau warung itu tutup, berarti penopang ekonomi nya ambruk dan akibatnya pada Pak Achwan. Di warungnya, saya kesandung cinta dengan Khoerunisa atau sering dipanggil dengan Nisa.

(Oh ya sebelum cerita warung Pak Achwan saya lanjutkan, bolehkan saya cerita tentang awal mula cinta kami? Memang sih tidak rame dan tidak serem seperti film Indonesia).

Ceritanya begini, cinta memang bisa tumbuh dimana-mana, seperti cinta kami yang tumbuh di warung Pak Achwan. Awalnya, yang namanya mata tertumbuk pandang sama mata, mata saya dengan mata Nisa, eh, tahu-tahu efeknya sampai ke hati lalu tumbuh cinta. Saya dan Nisa resmi berpacaran, kami saling suka, saling belajar bersama, saling berperang kata, kemudian gencatan senjata, lalu damai. Itulah lika-liku cinta yang berputar dari itu ke itu.

Kembali pada keadaan warung Pak Achwan. Bila warungnya tutup, saya bisa membayangkan kesulitan ekonomi yang sedang dialami oleh Pak Achwan. Dari situlah hati saya tergugah ingin mencari tahu kenapa teman-teman tidak lagi membeli makanan atau kue-kue di warung Pak Achwan. Pertama kali saya menghubungi Nisa. Pukul 16.30 saya pergi ke rumahnya untuk menanyakan perihal warung Pak Achwan.

“Nis, kamu tahu sudah beberapa hari warung Pak Achwan tidak buka, tahu tidak sebabnya?"

”Kalau tidak buka sih tahu, tapi kalau sebabnya, mana aku tahu, Cuma..."

“Cuma apa Nis?"

Begini, beberapa hari sebelum warung itu tutup, saya pernah mengajak Lili ke warung tapi Lili tidak mau, padahal kamu tahu kan Lili paling doyan sama baksonya Pak Achwan, aku paksa ia tetap tidak mau. Setelah aku tanyakan alasannya, eh, Lili malah balik tanya padaku.

“Nis, apa kamu belum dengar tentang cerita di warung itu?”

“Lho memang ada apa di warung itu?" jawab Nisa dengan heran.

Lili melanjutkan ceritanya, ada anak kelas Il IPS 3 yang lagi makan bakso, eh ada dua ekor kecoa yang tercampur di dalamnya.

“Itulah Fur, cerita yang saya dengar dari Lili," ujar Nisa pada Furqon.

Saya pulang dari rumah Nisa dengan membawa rasa penasaran karena cerita Lili mengenai dua ekor kecoa yang dituturkan oleh Nisa. Dalam hati saya masih tidak percaya. Apa betul yang diceritakan Lili? Sebab yang selama ia ketahui, Pak Achwan orangnya rajin, meja kursi, sendok, mangkok, dan benda-benda lain yang ada di warung kelihatannya selalu bersih. Karena masih diliputi rasa penasaran, saya memutuskan untuk melakukan penyelidikan tentang cerita dua kecoa itu. Jangan-jangan cerita itu hanya isu-isu saja.

Tidak seperti biasa, saya berangkat lebih pagi. Di sekolahnya baru ada beberapa anak yang datang, mereka sedang menyapu dan ada yang membersihkan papan tulis. Saya langsung mendekat pada Fatimah yang lagi pegang sapu.

“Fat, kalau nyapu yang bersih dong, masa masih kotor begitu, nanti pacar kamu banyak jerawatnya lho kalau nyapu tidak bersih!”

“Ah, biarin aja, asal tidak seperti Pak Achwan?"

"Tahu ndak, apa yang kamu dengar barusan?" tanya Ani yang diikuti oleh Ndari, Anton, dan Itok.”

“Fur, ada apa sih kok kelihatannya serius sekali?".

“Tidak ada apa-apa kok, cuma mau tanya sama kalian, apa kalian percaya cerita tentang dua kecoa yang ada dibaksonya Pak Achwan?" Tapi kelihatannya Ani dan kawan-kawan tidak serempak dalam menjawab, ada yang percaya dan ada yang tidak, yang jelas cerita itu sudah berkembang dari mulut ke mulut bahkan sudah berkembang menjadi isu nasional, eh bukan, isu di sekolah.

Saya menuju bangku, sebentar lagi tanda masuk akan berbunyi. Saya terus berpikir, pasti ini isu yang tidak sehat, pasti ini ada apa-apanya. Saya berjanji akan mengambil tindakan untuk menyelamatkan warung Pak Achwan. Saat jam istirahat sekolah, saya dan Nisa bersepakat untuk mencari sumber isu.

Nisa mencari lewat teman-temannya dengan tanya kesana-sini. Saya ke rumah Pak Achwan untuk menanyakan apa betul pernah ada anak yang makan bakso di warungnya, lalu terdapat kecoa yang tercampur dengan bakso yang sedang dimakan.

Jawaban yang diperoleh dari Pak Achwan menguatkan dugaan bahwa cerita itu tidak pernah ada alias bohong, bahkan Pak Achwan sendiri belum mendengar cerita tersebut.

"Keterlaluan, ini fitnah!" gumamku. Aku menanyakan pada Pak Achwan, apa sebelum warungnya sepi ia pernah berselisih paham dengan anak-anak yang suka makan di sini. Pak Achwan menjawab.

“Pernah, mereka keterlaluan Fur, kalau ngutang enak, tapi kalau ditagih bayarnya cuma besok, besok, terus.”

“Apa saat bapak menagih, mereka marah?”

“Ya, mereka marah, mungkin lagi makan bakso, tapi saya sama sekali tidak bermaksud mempermalukan mereka.”

“Pak Achwan tidak bersalah mereka saja yang keterlaluan. Oh ya, Pak Achwan kenal dengan anak-anak itu?”

“Kenal, si Ogi, Parmo, dan Winto”.

Semakin jelas dugaan itu, ketiga anak itu pasti biangnya isu kecoa. Saya permisi pada Pak Achwan, karena waktu istirahat telah habis. Pulang sekolah, saya dan Nisa saling menanyakan hasil tugasnya.

Nisa mengatakan belum memperoleh hasil yang pasti, tapi konon sumber isu itu dari anak kelas II IPS 3. Saya juga menceritakan pada Nisa kalau saya sudah mendapat keterangan dari Pak Achwan yang sudah dapat diqunakan untuk melacak biang isu kecoa.

Nisa mengajukan usul. “Fur, bagaimana kalau kita minta bantuan pada Prasetyo, saya kira ia sebagai ketua osis mau membantu dalam masalah ini”.

Saya setuju dengan usul Nisa. Saat jam istirahat, saya, Pras, dan Nisa menuju kelas Il IPS 3. Mereka bertiga meminta bantuan ketua kelas agar anak-anak II IPS 3 jangan ke luar dulu. Saya bertindak sebagai juru bicara, berdiri di depan anak-anak II IPS 3, dengan hati-hatinya mulai bicara.

"Sebelumnya kami minta maaf karena waktu istirahat kalian tertunda, kami mohon perhatian dari kalian tentang isu dua kecoa di warung Pak Achwan, berdasarkan informasi yang kami peroleh, bahwa isu itu bersumber dari anak-anak Il IPS 3."

Sejak anak-anak kelas II IPS 3 agak rame dan saling berpandangan. Saya melanjutkan pembicaraan, "maaf, sekali lagi kami minta maaf bukan kami menuduh, kami hanya ingin memperoleh kejelasan, apa betul isu itu bersumber dari kelas ini? Kalau tidak, berarti informasi yang kami peroleh itu salah, tapi andaikan informasi yang kami peroleh itu betul, itu berarti kalian akan memastikan usaha Pak Achwan, karena dengan adanya isu yang tidak benar, anak-anak di sekolah kita tidak jajan atau makan-makan lagi di warung Pak Achwan dan akibatnya warung itu tutup." Saya berhenti sejenak, menatap wajah-wajah anak kelas II IPS 3 untuk meyakinkan bahwa masalah ini bukan main-main.

“Kalian tahu bahwa warung itu adalah satu-satunya penopang hidup keluarga Pak Achwan?" (Suasana kelas menjadi hening).

Prasetyo melanjutkan pembicaraan. "Untuk itu kami mohon dengan rendah hati siapa di antara teman-teman yang merasa menciptakan isu supaya mengakui perbuatannya dan segera minta maaf pada Pak Achwan. Apabila di antara teman-teman tidak ada yang mengakui, maka kami akan melaporkan masalah ini pada guru BP. Memang masalah ini tidak ada sangkut pautnya dengan sekolah kita, tapi ini sudah menyangkut kelakuan yang menjurus pada hal yang tidak terpuji.”

Alfin selaku ketua kelas II IPS 3 juga turut bicara dan meminta pada teman-temannya untuk berbuat jujur dan ksatria, serta yang merasa telah menciptakan isu itu supaya mengakui saja. Ogi, Parmo, dan Winto maju ke depan kelas dan minta maaf pada teman-teman serta berjanji akan minta maaf pada Pak Achwan.

Atas inisiatif Alfin dan disetujui oleh teman-temannya, mereka sepakat untuk mengumpulkan iuran lima puluh ribu rupiah per anak, lalu disumbangkan pada Pak Achwan sebagai tanda penyesalan atas perbuatan yang dilakukan oleh ketiga temannya.

Pagi sebelum bel masuk berbunyi di depan papan pengumuman, banyak anak-anak berkerumun. Rupanya di papan pengumuman ada tulisan yang berbunyi:

"Bahwa isu tentang dua kecoa di warung Pak Achwan adalah tidak benar, dan kami selaku biang isu meminta ma

af pada teman-teman. Yuk, kita jajan lagi di warung Pak Achwan. Oh ya, kami juga mengucapkan terima kasih pada Furqon, Nisa, Pras, dan Alfin yang telah menyadarkan kami."

Tanda tangan: Ogi, Parmo, dan Winto.

Saat jam istirahat, warung Pak Achwan kelihatan rame lagi. Pak Achwan dan istrinya sibuk kembali melayani anak-anak yang pada jajan. Ada yang beli bakso, ada yang beli soto, ada yang pesan es teh, dan lain-lainnya. Warung Pak Achwan kembali menjadi tempat yang ramai dan penuh tawa. Cinta, persahabatan, dan kebersamaan kembali mengalir di antara anak-anak remaja di sekolah itu.

Inilah akhir kisah cinta, persahabatan, dan kecoa palsu di warung Pak Achwan. Sebuah cerita yang mengingatkan kita tentang pentingnya kejujuran, kebijaksanaan, dan persahabatan dalam menghadapi masalah. Bagaimana Furqon, Nisa, Prasetyo, Alfin, dan anak-anak kelas II IPS 3 bersatu untuk mengatasi isu yang hampir menghancurkan warung Pak Achwan.

Cerita ini juga mengajarkan kita bahwa cinta bisa tumbuh di tempat-tempat yang tak terduga, bahkan di warung soto yang penuh dengan cerita-cerita kehidupan sehari-hari. Semoga cerita ini menghibur dan memberikan inspirasi bagi para remaja di luar sana untuk selalu berbuat jujur, menghargai persahabatan, dan berani menghadapi tantangan.

Terima kasih telah membaca cerpen remaja ini di blog Kumpulan Tulisan 25. Jangan lupa untuk selalu mengikuti update tulisan-tulisan menarik kami. Sampai jumpa pada cerita berikutnya!

Baca cerpen remaja lainnya ?