Sidang jum’ah rahimakumullah…
KHUTBAH JUM'AT PILIHAN - Bila tiba-tiba kaki terantuk batu, pernahkah keluar dari mulut kita selain keluhan atau bahkan umpatan? Mampukah dengan kesadaran tinggi ‘justru’ kita lafadzkan Alhamdulillah? Tidakkah kita sadari bahwa pada pertemuan antara kaki dan batu itu meskipun terasa sakit terdapat kandungan hikmah?
Di samping kesenangan-kesenangan, kehidupan juga menawarkan hal-hal yang tidak kita senangi. Penyakit, kcbodohan, gelisah, kesedihan, kemiskinan, gundah dan krisis moneter adalah hal yang tidak disenangi manusia. Dalam kamus Al-Munjid, segala yang tidak disenangi disebut musibah. Berbagai bentuk musibah selalu mengundang untuk mengutuknya. Serta merta kita menyalahkan batu yang membuat kita tersandung.
Tapi, benarkah musibah hanya bermakna kesengsaraan dan bencana? Tidak adakah butiran hikmah di dalam gumpalan musibah, sebagaimana kilauan emas juga tersembunyi di dalam bumi? Marilah mencoba melihat musibah dari jarak dekat, kemudian menelusurinya.
Asy-Syarif Al-Abbasy (504 H) dengan sangat indah mengungkapkan;
Siapa yang menyatu dengan kehendak sang Maha Satu,
sirna darinya buruk sangka…
Telah padu nikmat dan sengsara
Peristiwa dan hikmahnya...
Betapa Syair di atas telah mengajari kita untuk tidak pernah membuat dikhotomi atas peristiwa-peristiwa kehidupan. la adalah mata rantai yang tidak terputus. Saling berhubungan dan terkait satu sama lainnya. Antara nikmat dan sengsara, kaya dan miskin, sedih dan gembira, pintar dan bodoh, bahkan antara sakit dan sehat terdapat hubungan simbiosis mutualisme yang erat. Sama-sama membutuhkan, menguntungkan dan bergantung. Si miskin perlu si kaya, si kaya pun butuh si miskin -setidaknya- agar dianggap kaya. Yang sakit dibantu yang sehat, yang sehat juga berhajat kepada si sakit terutama para dokter yang kelangsungan hidupnya tergantung pada jumlah pasien.
Sidang jum’ah rahimakumullah…
Musibah dan bahagia adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisah. Keduanya selalu ada. Bila manusia berdo'a agar musibah dimusnahkan secara total dari kehidupan, ia pun akan kehilangan kebahagiaan sebab bila musibah tiada, hilanglah makna kebahagiaan. Sebagaimana seorang guru, sebenarnya ia sangat bergantung pada wujud kebodohan murid. Sebab bila para murid sudah sepandai dia, proses mengajar hanyalah menjadi tumpahan garam di tengah air lautan.
Inilah tangga awal untuk memahami keadilan Allah atas hidup kita. Untuk lebih gamblangnya, simaklah hadits diriwayatkan oleh Thobroni R.A. dari Ibnu Abbas R.A. berikut ini;
"Bukan termasuk golongan mukmin yang sempurna bila seorang belum menganggap musibah (bencana) sebagai nikmat, dan kemakmuran sebagai musibah " (Muchtaru al-Ahadits hal.395).
Sikap atas peristiwa peristiwa kehidupan menjadi salah satu indikasi kesempurnaan iman. Kesempurnaan itu tercapai bila sakit, gelisah, miskin, bodoh dan segala bentuk musibah berhasil kita khalifahi dan kita yakini sebagai anak tangga menuju bahagia. Ketika musibah melanda, sadarilah bahwa ia suatu saat akan sirna. Sebaliknya, bila pada waktu tertentu kita berbahagia misalnya dengan kekayaan yang melimpah- bersegeralah eling (sadar) bahwa dinding pemisah antara kekayaan dan kufur sangatlah tipis sehingga kita mudah kehilangan kontrol iman. Tanamkan -secepat mungkin- kesadaran bahwa kekayaan itu musuh dalam selimut yang setiap saat siap menghancurkan kita. Dengan demikian, manusia selalu ingat Allah, apapun keadaannya.
Kita semua harus selalu belajar mensikapi musibah secara dewasa. Saat sakit, sempatkan berfikir bahwa penyakit adalah kendaraan ampunan Allah atas sebagian dosa kita. Atau saat sescorang tiba-tiba membuat kita marah, redamlah emosi untuk menjajaki kemungkinan bahwa Allah sengaja mengutus orang itu untuk menegur kesalahan-kesalahan kita. Hidup harus kita olah sedemikian rupa schingga musibah tetap membuat kita bahagia. Memang tidak mudah, tapi bukan hal yang mustahil.
Salah satu cara untuk sampai ke maqam tersebut adalah dengan menanamkan kesadaran bahwa segala hal yang tidak kita senangi (musibah) adalah semata akibat dari kesalahan kita sendiri. Kebencian orang kepada kita adalah pantulan kebencian kita kepada orang lain. Sikap permusuhan terhadap kita adalah akibat dari perilaku kita yang tidak bersahabat dengan pihak lain.
Maka musibah sebenarnya adalah peringatan bagi kesalahan-kesalahan kita. Baik kesalahan yang telah, sedang dan akan kita lakukan. Allah Maha Pengampun atas dosa-dosa masa lalu kita Maka berbahagialah bila ditimpa musibah sebab Allah berkenan menghapus dosa-dosa itu. Tapi bila musibah datang sebelum kita lakukan dosa apapun, tetaplah berbahagia, sebab Allah tahu akan dosa masa depan yang akan kita lakukan.
Tidak ada tempat bagi manusia untuk menggerutu, dongkol dan apalagi marah atas kejadian kejadian yang menimpanya. Bila manusia tahu maksud (irodah) Allah atas hidupnya, yang terpancar darinya hanyalah syukur, syukur dan syukur. Dalan sebuah hadits qudsyi Allah mengultimatum,
"Barang siapa tidak bersyukur atas nikmat-Ku dan tidak sabar atas musibah yang Kutimpakan kepadanya, enyahlah dari bumi-Ku dan carilah tuhan selain Aku."
Sidang jum’ah rahimakumullah…
Selain yang telah terungkap di atas, musibah bisa dipahami sebagai ujian (ikhtibar). Bagaimana hal ini bisa kita terima?
Tidak ada kelulusan kecuali setelah ujian terlampaui. Untuk bisa berlari, seorang bayi harus diuji dengan merangkak dan latihan berjalan. Seorang mahasiswa harus diuji kesabaran, keuletan, tekad dan ketekunannya sebelum meraih gelar sarjana. Yang sudah diwisudapun harus tetap menyelesaikan ujian-ujian berikutnya untuk memasuki ujian demi ujian di masyarakat nanti.
Untuk bisa bersemayam ditahap lebih tinggi dari hidupnya, manusia harus diuji dan di gembleng untuk kuat menghadapi goncangan yang lebih berat. Sebagaimana pohon yang semakin tinggi, semakin dasyat diterpa angin. Maka hakekat musibah adalah ujian akhir bagi manusia pada derajat tertentu sebelum ia diperkenankan menikmati derajat baru lebih tinggi.
"Tiada kepayahan, kelelahan, kesusahan, kesedihan, sakit, bahkan derita akibat tertusuk duri kecuali Allah mengampuni sebagian dosa-dosanya karena hal itu."
Islam menuntut manusia menjadi kholifah yang kaafah maksudnya adalah agar manusia mampu menjadi pemimpin yang sanggup mengatur bukan saja alam seisinya tetapi juga terutama mengatur dirinya sendiri. Hal ini karena untuk bisa menjadi kholifah atas alam, manusia harus lebih dulu menundukkan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin manusia mengatur kehidupan sedang hidupnya sendiri tidak teratur?
Demikianlah kita harus selalu mengabadikan usaha, agar hidup selalu terasa indah meskipun musibah tidak pernah musnah. Tanamkan kesadaran bahwa Allah Maha Tahu akan kemampuan kita. Sedangkan Dia tidak pernah membebani hambanya diluar kemampuannya.
0 Comments:
Post a Comment