DONGENG FANTASI | KIJANG CANTIK DAN PAK TUA

DONGENG FANTASI | KIJANG CANTIK DAN PAK TUA - Suatu pagi aku duduk santai didepan rumahku, dari kejauhan tampak seorang laki-laki tua sedang berjalan sambil menarik seekor kijang. Aku menyapanya dan bertanya, “kijang bapak cantik sekali, apakah bapak mau menjualnya ke pasar ?” “maaf anak muda, aku tidaklah hendak menjual kijang ini ke pasar, kijang ini mempunyai kisah yang panjang.” Aku jadi tertarik untuk mendengarkan kisah apa di balik kijang itu, aku pun meminta si orang tua untuk menceritakannya padaku. “maukah engkau menceritakan kisah kijang ini kepadaku ?”, “baiklah aku akan menceritakannya kepadamu.”

Kijang ini adalah saudara sepupuku, darah dagingku. Aku menikahinya ketika aku rnasih sangat muda, dan dia waktu itu adalah seorang gadis berumur dua belas tahun, yang baru menjadi wanita dewasa sesudah itu. Selama tiga puluh tahun kami hidup bersama, tetapi tidak dikaruniai anak. Namun aku tetap bersikap baik padanya, memperhatikannya, dan memperlakukannya dengan murah hati. Lalu aku menikah lagi, dan dia melahirkan untukku seorang anak lelaki yang tumbuh besar dan tampak bagaikan sepotong bulan. Sementara itu, istriku mulai cemburu atas istri mudaku dan putraku.

Suatu hari, ketika berumur sepuluh tahun, aku harus mengadakan suatu perjalanan. Aku mempercayakan kepada istriku yang ada di sini, istri mudaku dan putraku, aku berpesan kepada istriku untuk menjaga mereka baik-baik, dan pergi selama setahun penuh. Dalam kepergianku, istriku, saudara sepupuku ini mempelajari ilmu tenung dan sihir dan membacakan mantera-mantera kepada putraku ini dan mengubahnya menjadi seekor banteng muda. Lalu dia memanggil tukang gembalaku, memberikan putraku kepadanya. Dan berkata, “peliharalah banteng ini bersama ternak-ternak lainnya.” Tukang gembala itu mengambilnya dan memeliharanya sebentar. Lalu istriku merapal mantera-mantera pada istri mudaku, mengubahnya menjadi seekor sapi, dan memberikannya juga kepada si tukang gembala.

Ketika aku kembali, setelah semua ini terjadi, dan aku menanyakan tentang istri mudaku dan putraku, istriku menjawab, “Itri mudamu meninggal, dan putramu lari dua bulan yang lalu, dan aku tidak mendengar berita darinya sejak itu.” Ketika aku mendengar ini, aku berkabung untuk istri mudaku dan dengan perasaan marah aku berkabung untuk putraku selama setahun. Ketika Hari Raya Kurban mendekat, aku memanggil si tukang gembala dan memerintahkannya untuk membawa seekor sapi yang gemuk untuk dikorbankan.

Sapi yang dibawakannya untukku sesungguhnya adalah istri mudaku yang cantik. Ketika aku mengikatnya dan menekan tubuhnya untuk memotong lehemya, dia meratap dan menangis seakan berkata, “Putraku, putraku,” dan air matanya bercucuran membasahi pipinya. Karena heran dan tercekam rasa kasihan, aku berpaling dan menyuruh si tukang gembala untuk membawakanku seekor sapi yang lain. Tetapi istriku berkata, “Teruskanlah ! Sembelih sapi itu, sebab dia tidak mempunyai sapi yang lebih baik atau lebih gemuk. Nanti kita nikmati dagingnya dalam pesta.” Aku mendekati sapi itu untuk memotong lehemya, dan lagi-lagi dia menangis, seakan-akan berkata, “Putraku, putraku.” Lalu aku berpaling darinya dan berkata kepada si tukang gembala, “Sembelihkan ia untukku.” Si tukang gembala menyembelihnya, dan ketika dia mengulitinya, dia tidak mendapati daging maupun lemak melainkan hanya kulit dan tulang.

Aku menyesal telah memerintahkan menyembelihnya dan berkata kepada si tukang gembala, “Ambillah semua untukmu sendiri, atau berikan ia sebagai sedekah kepada siapa pun yang engkau kehendaki, dan dapatkan untukku seekor banteng muda dari kumpulan ternak-ternak itu.” Si tukang gembala membawanya pergi dan menghilang, dan tidak pernah mengetahui apa yang dilakukannya terhadap sapi itu.

Lalu dia membawakan putraku, darah-dagingku, dalam penyamaran sebagai seekor banteng muda. Ketika putraku melihatku, dia menggelengkan kepalanya agar terbebas dari lali pengikatnya, berlari mendekatiku, dan, setelah menjatuhkan dirinya di kakiku, terus menggosok-gosokkan kepalanya padaku. Aku merasa heran dan tersentuh oleh perasaan simpati dan belas-kasihan, sebab hubungan darah itu tetap kuat oleh ikatan ilahi, dan jantungku berdebar-debar ketika aku melihat air mata menetes di kedua pipi putraku si banteng muda, ketika ia menggali-gali tanah dengan kuku-kukunya. Aku berpaling dan berkata kepada si gembala, “Biarkan dia pergi dengan ternak-ternak yang lain, bersikaplah baiklah padanya, sebab aku telah memutuskan untuk membiarkan dia hidup. Bawakan untukku hewan lain sebagai gantinya.”

Istriku si kijang ini, berseru, “Kau tidak akan mengorbankan banteng selain yang ini.” Aku menjadi marah dan menyahut, “Aku telah menurutimu dan menyembelih sapi itu dengan sia-sia. Aku kini tidak akan menurutimu dan membunuh banteng ini, sebab aku telah memutuskan untuk membiarkannya hidup.” Tetapi dia mendesakku, berkata, “Kau harus menyembelih banteng ini.” dan aku mengikat banteng itu dan mengambil pisau itu dan ketika aku berpaling untuk menyembelih putraku, dia meratap, melenguh, bergelung di kakiku, dan bergerak mendekatiku dengan lidahnya. Aku mulai mencurigai sesuatu, merasa ragu-ragu dan kasihan, dan akhirnya melepaskannya, sambil berkata kepada istriku, “aku telah memutuskan untuk membiarkannya hidup, dan aku menyerahkannya padamu untuk merawatnya.”

Lalu aku berusaha menenangkan dan menyenangkan istriku, kijang yang ada disini, dengan menyembelih banteng lainnya, dan menjanjikan kepadanya untuk menyembelih yang banteng ini tahun depan. Kami tidur malam itu, dan ketika fajar menyingsing, si tukang gembala mendatangiku tanpa sepengetahuan istriku, dan berkata, “berikan kepercayaan kepadaku untuk menyampaikan kabar baik.” Aku menjawab, “katakan padaku, dan kepercayaanku ada padamu.” Dia berkata, “Tuan aku mempunyai seorang anak perempuan yang senang mempelajari ilmu gaib dan sihir dan ahli dalam ilmu jampi-jampi dan mantera. Kemarin aku membawa pulang banteng yang batal anda sembelih, agar dia merumput bersama ternak-ternak yang lain, dan ketika anakku melihatnya, dia tertawa dan menangis pada saat yang bersamaan. Ketika aku bertanya mengapa dia tertawa dan menangis, dia menjawab bahwa dia tertawa karena banteng itu sesungguhnya adalah putra majikan kami sang pemilik ternak, yang disihir oleh ibu tirinya, dan bahwa dia menangis karena ayahnya telah menyembelih ibunya. Aku tak sabar menanti datangnya fajar untuk menyampaikan padamu kabar baik tentang putramu ini.”

Ketika aku mendengar itu, aku berteriak dan pingsan, dan ketika aku sadar kembali, aku menyertai tukang gembala itu ke rumahnya, menemui putraku, dan menjatuhkan diriku padanya, menciumnya dan menangis. Dia memalingkan kepalanya ke arahku, air matanya mengalir di pipinya, dan dia melelet-leletkan lidahnya, seolah-olah berkata, “lihatlah keadaanku.” Lalu aku berpaling kepada anak perempuan si tukang gembala dan bertanya, “bisakah engkau melepaskan dia dari sihir itu ? Jika engkau bisa, aku akan memberikan padamu seluruh ternakku dan semua hartaku.”

Dia tersenyum dan menjawab, “Tuan, aku tidak berhasrat memiliki kekayaanmu, ternakmu maupun hartamu. Aku akan membebaskannya tetapi dengan dua syarat : pertama, anda mengijinkan aku menikah dengannya. kedua, anda mengijinkan aku menyihir orang yang telah menyihir dia, agar aku dapat mengendalikan dan menjaganya dari kekuatan jahat.” Aku menjawab, “lakukan apapun yang engkau inginkan. Hartaku akan aku serahkan kepadamu dan putraku. Sedangkan mengenai istriku, yang telah melakukan ini terhadap putraku dan menyebabkan aku menyembelih ibunya, dia berhutang nyawa padamu.” Dia berkata, “tidak, tetapi aku akan membuatnya merasakan apa yang telah dilakukannya terhadap orang-orang lain.”

Lalu putri si tukang gembala itu mengisi sebuah mangkuk berisi air, mengucapkan suatu mantera, dan berkata kepada putraku, “banteng jika engkau diciptakan dalam bentuk ini oleh Tuhan yang mahakuasa dan mahabesar, tetaplah dalam keadaanmu begitu, tetapi jika engkau telah disihir secara kejam, kembalilah kepada bentukmu yang asli sebagai manusia, atas kehendak Tuhan, pencipta seluruh dunia yang luas ini,” lalu dia memercikkannya dengan air itu, dan putraku mengibas-ngibaskan dirinya lalu berubah dari seekor banteng kembali menjadi manusia.

Aku bergegas mendekatinya, aku pingsan, dan ketika aku sadar kembali, dia menceritakan kepadaku bahwa istriku, kijang yang disini ini, telah melakukan hal itu terhadap dirinya dan ibunya. Aku berkata, “nak, tuhan telah mengirimkan pada kita seseorang yang akan memberi pengganti bagi apa yang telah kau dan ibumu serta aku menderita akibat ulahnya.”

Lalu, aku kawinkan putraku dengan putri si tukang gembala, yang mengubah istriku menjadi kijang ini, sambil berkata, “menurutmu inikah bentuk yang cocok untuknya, sebab dia akan bersama kita siang dan malam, dan lebih baik mengubahnya menjadi seekor kijang yang cantik daripada memandang wajahnya yang seram.” Maka ia tinggal bersama kami, sementara siang dan malam terus berganti.

Lalu pada suatu hari putri si tukang gembala meninggal, dan putraku pergi ke negeri orang yang telah bertemu denganmu itu. Beberapa lama kemudian aku membawa istriku, si kijang ini, pergi untuk mencari tahu apa yang terjadi pada putraku. Inilah kisah kijangku yang aneh dan mengherankan.

Demikianlah cerita pendek Misteri dengan judul KIJANG CANTIK DAN PAK TUAsemoga bermanfaat.

Baca cerita fantasi lainnya ?