Ada banyak cinta yang coba kita perjuangkan, tapi hanya ada satu yang pantas kita pertahankan. kumpulan tulisan 25
KISAH CINTA dan REMAJA - Pelan-pelan aku turun dari bus. Begitu kakiku menyentuh Iantai terminal, tiba-tiba saja hatiku merasa berdebar. Ada perasaan haru dan rindu yang sangat, menyelinap di sela-sela hatiku. Kutaburkan pandanganku berkeliling, hem… keadaan terminal ini sudah jauh berubah tidak seperti sepuluh tahun yang lalu. Ya... sudah sepuluh tahun aku meninggalkan kota ini dan ayah harus menikah lagi. Aku memutuskan untuk ikut Tante Wina, adik mama di Medan.
"Kotaku aku kini kembali," Kataku dalam hati. Tak terasa air mataku menetes pelan lagi. Jika bukan karena ayah sakit, mungkin aku takkan pulang. Sepanjang perjalanan, semua kenangan sepuluh tahun yang lalu hadirkan kembali di ingatanku.
Aku berdiri termangu didepan rumah. Suasana rumah sangat sepi. Aku memandang berkeliling, tak banyak perubahan. Tapi aku tak menemukan lagi bunga mawarku. Kemana? Sudah matikah atau ditebang ? Padahal mawar itu adalah tanaman kesayangan Ibu, Ibu sendiri yang menanamnya waktu itu.
"Selamat datang!" sebuah suara mengejutkan dan menyadarkan lamunanku. Kualihkan pandangan ke arah suara itu. Aku tertegun. Di depanku telah berdiri seorang wanita setengah baya. Inikah istri Ayah ? Dulu aku tak ingin bertemu dengannya. Cerita tentang ibu tiri membuat kau merasa takut untuk bertemu. Saat ayah menikah, aku lebih suka tinggal di rumah Nek Iyem, Ibu angkat Ibu.
"Oh...terima kasih," kataku sambil menjabat tangannya.
"Ayahmu sangat rindu padamu, cepatlah kau temui dia !".
Pelan-pelan aku masuk kamar ayah. Aku tak kuasa lagi menahan air mataku. Kupeluk erat-erat tubuh yang kurus dan renta itu.
"Ayah...maafkan Ida!" Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Aku hanya bisa menangis sedih.
"Ida, Bapak nggak apa-apa kok, Bapak cuma capek dan rindu sama kamu." Tangan-tangan tua dan lemah itu mengusap air mata di pipiku.
"Kok Bapak nggak ke dokter saja?"
"Bapak kan nggak sakit. 0 ya...kapan kamu nengok makam ibumu ? Sudah lama kamu nggak ke sana." Aku diam, ada rasa berdosa menggelayuti pikiranku.
"Pak, kamu ini gimana to ? Anak baru pulang, masih capek kok disuruh ke makam!" Sela ibu tiriku.
"Aku kan cuma ngingatkan".
"Ida, kamu mandi dulu, lalu istirahat. Kamar kamu sudah saya siapkan!" Ibu membawa koperku masuk. Aku mengangguk pelan.
"Kamu sudah besar sekarang, masih sekolah kamu Da?" tanya Bapak.
"Sudah lulus Pak, baru saja. 0 ya...Tante Wina titip salam buat bapak. Kapan-kapan dia mau kemari sama Om Tian."
"Da, maafkan Bapak ya ? Bapak nggak tanggung jawab, nggak mau ngrawat kamu!" Mata bapak berkaca-kaca. Aku jadi sedih kupeluk erat-erat tubuh bapak. Aku menangis, tersedu kutumpahkan rasa rinduku dalam tangisan.
"Sudahlah Pak, saya nggak merasa begitu. Aku mau mandi dulu, Bapak istirahat ya !" kuselimuti tubuh bapak, lalu aku ke belakang.
"Mau ke mana kamu Da ?" tanya ibu.
"Cari mawar buat ibu”
Aku melangkah perlahan, aku bingung mesti ke mana. Eh...aku ingat bukankah dekat gunung itu ada taman bunga. Aku segera menuju ke sana. Nah...itu dia. Ternyata taman ini masih seperti dulu, bahkan lebih bagus. Aku ingat dulu aku bersama teman-teman sering bermain di sini. Tertawa, berlari...ah menyenangkan sekali. Ke mana mereka sekarang ? Ada lyon, Pupung, Afit, Yuli, dan juga Rizal.
"Cari apa mbak ?" Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh. Aku lebih terkejut lagi. Dia pun begitu saat melihatku.
"Astaga...Iyon? kamu lyon kan?" Aku hampir saja melompat kegirangan
"I...Ida ya ?" katanya tergagap. Kami berdua berjabat tangan erat sekali. Lalu tertawa lepas, sangat bahagia.
"Saya kira kamu siapa. Aku tadi mau goda kamu eh nggak tahunya...!"
"Kebiasaan lama kok dipiara sih Yon ?"
"Kapan kamu datang. Wah benar-benar kejutan, nggak nyangka kita Bakal ketemu lagi, udah sepuluh tahun ya ?"
"Aduh...aduh, cerewet amat kamu sekarang!" kataku sambil tertawa.
"Eh...cerita dong tentang kisah kamu, ke mana aja kamu selama sepuluh tahun ?"
"Jangan sekarang, aku mau menengok makam ibu. Eh...temani aku ya ?" kami berdua lalu memetik beberapa kuntum mawar dan bergegas menuju makam. Aku bersimpuh di depan makam ibu. Aku letakkan bunga mawar di dekat pusara ibu. Aku membacakan ibu doa dan beberapa ayat al-Quran. Air mataku menetes membasahi pipiku, kubiarkan saja.
"Ibu, maafkan Ida Ibu. Ida nggak pernah nengok ibu !" kataku lirih. Tanganku gemetar menyentuh pusara ibuku.
"Ida...sudahlah jangan sedih, ibumu sudah tenang di sana." lyon memapah aku berdiri. Lalu kami berdua meninggalkan tempat itu.
"Yon, makam ibu kok bersih sekali, siapa yang membersihkan ?"
"Oh...mungkin bapak kamu. Setahuku yang sering ke makam ibumu ya cuma bapak kamu!"
"Tidak mungkin, bapak sudah lama nggak ke makam karena sakit, itu kata ibuku."
"Kalau begitu aku tak tahu. Eh...tanya saja Nenek sekalian kamu sungkem padanya. Jelek-jelek dia nenek angkatmu lho !" lyon mengingatkanku pada Nek lyem, Ibu angkat ibuku. Dalam perjalanan aku masih dihantui perasaan heran, siapa ya yang mengunjungi makam ibu. Tiba-tiba...dug. aku menabrak seseorang. Aku terjatuh, sementara lyon malah tertawa terpingkal-pingkal. Uh...salah sendiri mengapa jalan sambil melamun.
"Eh...maaf nggak sengaja," kata orang itu sambal mengulurkan tangannya. Tiba-tiba saja dadaku berdebar kencang saat aku mendongakkan kepala. Seorang pemuda tampan dan gagah telah berdiri di depanku. Ih...manis sekali senyumnya, ditambah lagi matanya, Eh...mata itu kenapa aku mengenalnya, tapi di mana.
"Ha...ha...ha...kalian ini seperti orang linglung saja. Aduh...aduh...Rizal, sama teman lama kok ya pake sopan santun segala." Iyon memegangi perutnya, mungkin sakit karena kebanyakan tertawa. Ya Tuhan...benarkah dia Rizal? Mengapa aku tak bisa mengenalnya? Dia betul-betul telah berubah.
"Taman lama Yon?" tanya Rizal waktu itu.
"Iya..inget nggak sama anak kecil yang manis dan manja sepuluh tahun yang lu?"
Cowok itu menatapku lama sekali. Aku tersenyum untuk menutupi perasaan hatiku yang tak karuan.
"Ida...Nuraida?" tebaknya.
Sekarang aku yakin bahwa is memang Rizal.
"Rizal ya?" Aku berdiri, ku tersenyum menatap Rizal. Entah kenapa hatiku masih berdebar, padahal Rizal adalah teman kecilku dulu, teman yang paling dekat dengan aku.
"Apa kabar Da ? kapan datang ?" katanya sambal menjabat tanganku. Aku semakin gemetar. Rizal menatapku cemas.
"Kamu sakit ya, kok kamu gemetar?"
"Ah...eh enggak kok!" aduh...kok aku jadi salah tingkah begini. Untung saja perkataan Rizal yang menaruh curiga pada sikapku, tak menyinggung tentang perasaan hatiku.
"Oh...kamu capek ya ? mungkin kamu baru datang ya ?"
"Iya...aku baru datang tadi pagi."
Tanpa terasa perjalanan kami telah sampai tujuan. Lalu kami bertiga berpisah jaIan. lyon dan Rizal pulang ke rumah. Sedang aku menuju rumah Nek lyem. Menjelang maghrib aku baru pulang. Tubuhku rasanya lelah sekali. Aku mandi lalu sholat maghrib.
"Kok kamu lama banget ke makam ibumu, Da?" tanya bapak.
"Ketemu teman lama, Pak. Bapak tahu tidak siapa yang sering nengok makam ibu, kok makam ibu terawat bersih?"
"Oh...itu anak Pak Lurah, teman kecil kamu. Dia yang sering nengok makam ibumu. Katanya, untuk mengobati rasa rindunya sama kamu."
"Maksud bapak...Rizal ?" Bapak mengangguk pelan. Hatiku berdesir saat mendengar bapak mengatakan bahwa Rizal selalu rindu padaku. Benarkah? Aku ingat, saat perpisahan sepuluh tahun yang lalu. Rizal memeluk aku sambil menangis.
"Da, kamu jangan pergi ya ? Nanti aku kalau rindu bagaimana."
"Kalau kamu rindu aku, tengok makam ibu saja. nanti ibu pasti sampaikan rasa rindumu padaku. Ibu kan baik !"
Ternyata, Rizal masih mengingat perkataanku itu. Rizal...terima kasih Rizal.
"Melamun kamu ndhuk?" Bapak menyentuh pundakku.
"Ah...enggak, Pak. Ida Ielah, Ida istirahat dulu ya, Pak ?" kucium kening bapak lalu masuk kamar, dan tidur.
Pagi-pagi aku bangun. Aku berlari-lari kecil melintasi jalan setapak menuju taman bunga. Ah...segar sekali udara di sini. Tiba-tiba mataku menatap sesosok tubuh yang sedang asyik push up. Bukankah itu Rizal. Aku alihkan arah lariku mendekatinya.
"Selamat pagi, Rizal !"
"Eh...pagi juga. Wah, jogging nih !" katanya sambil tersenyum manis.
"Zal, boleh aku ngomong!" kataku hati-hati supaya nggak membuat penasarannya.
"Lho...masak ngomong nggak boleh ?" kenapa tanpa curiga. Rizal, sampai kini kamu kok pinter nyimpen perasaanmu sih? Aku jadi takut bicara, jangan-jangan aku salah ngomong!
"Rizal, terima kasih ya, kamu selalu ngingat aku terus," kataku terbata-bata, menahan perasaan yang tak karuan. Rizal menghela napas panjang. Kemudian dia menatapku tajam. Aku menundukkan kepala tak kuasa menatap tatapan mata Rizal.
"Kamu tahu nggak Da, kamu jahat sekali. Kamu telah membuat aku menunggu selama sepuluh tahun. Sampai aku ngak .bisa menerima kehadiran cewek lain di sisiku. karena aku selalu ingat kamu."
"Maafkan aku, aku nggak tahu !"
"Sekarang kamu tahu kan, kalau aku saying kamu !”
Tiba-tiba saja Rizal memegang tanganku lalu menggenggamnya erat-erat. Aku tak kuasa menolak, hanya perasaanku yang bergemuruh tak karuan, yang pasti aku bahagia sekali.
"Da, kamu janji nggak ninggalain aku lagi kan ?" Aku menggeleng, kutatap mata Rizal. Aku melihat adanya kejujuran di sana. lalu kami berdua tersenyum, senyum bahagia tuk mengawali langkah baru bersama-sama. Ternyata nostalgia masa kecil bisa membuat orang bahagia.
0 Comments:
Post a Comment