Monday, September 17, 2018

Cerpen Remaja : Memori Buskota

“Cinta begitu indah saat menyapa dan di kala kenyataan tidak berpihak kepada kita untuk memilikinya maka janganlah menyalahkan cinta itu sendiri.”

KISAH CINTA dan REMAJAAkrabnya juga di SMEA YPE Sampang, suatu sekolah yang boleh dibilang ‘bonafid’. Kupikir cewe ini juga tidak beda dengan cewe-cewe yang kini jadi adik kelasku. Tetapi ketika ia hampir jatuh dari bus (maklum saking banyaknya penumpang) tangannya sempat kugapai, ia terkejut. Tampaknya mau marah. Matanya menatapku tajam, tetapi mulutnya terkatup rapat. Hatiku serasa bergejolak oleh sinar matanya yang tajam menusuk. Aku merasa menyukainya.

Sampai di sekolah kami masih tetap saja jalan beriringan. Sambil sesekali kami saling mencuri pandang. Akhirnya ia menurut saja, ketika kutarik masuk ke dalam perpustakaan yang ada di sekolahku.

"Maafkan; mari siiakan duduk," kataku menyilakan.

"Terima kasih!” katanya masih dengan nada yang masih canggung dan sedikit kelihatan angkuh.

Dengan segala keberanian aku mencoba membuka pembicaraan terlebih dahulu, walau jawabnya hanya ya atau tidak. Tapi, justru hal itulah yang membuatku makin teriarik dan semakin besar hasratku untuk berteman dengannya (kalau busa sih Iebih dari itu he...he...).

"Oh iya, namaku Rudy“.

“Kamu siapa?“

"Panggil saja Cindy".

“Cindy, aku sepertinya pernah mendengar nama itu. E...m, sebentar Aku ingat-ingat. Oh iya Aku ingat, aku punya teman yang suka menggunakan nama Cindy, padahal itu bukan nama sebenarnya. Temanku lebih senang menggunakan nama Cindy, karena menurut temanku Cindy adalah singkatan dari Cinta ditolak atau cinta yang gagal”.

“Apakah arti namamu juga begitu?”

“Tidak, salah 100%!”

Tapi, tiba-tiba kulihat perubahan pada wajahnya. Ia nampak murung dan seperti mengingat sesuatu.

“E…m maafkan aku, kalau kata-kataku membuat kamu tersinggung”. Ia hanya diam dan menunduk.

Aku kini sudah tahu, gadis yang ada di hadapanku ini kelahiran dan dibesarkan di Tangerang. Datang ke sini untuk melanjutkan sekolahnya di SMEA YRE Sampangan. Bukan main.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya ketika melihatku bengong saja.

“Kau hebat!” kataku polos.

"Gadis-gadis di sini pun tak kalah hebatnya".

Aku biasa saja.

Perkenalanku ini sungguh menyenangkan. Cindy gadis manis kelahiran Betawi ini setelah kukenal lewat peristiwa di dalam sebuah bus sewaktu berangkat sekolah. yang menyebab kan ia hampir jatuh karena berdesak-desakan dengan penumpang lain, kini telah menjadi adik kelasku dan sekaligus menjadi teman akrabku. Yeah, mungkin inilah yang dinamakan saat-saat terindah masa sekolah. Masa remaja yang penuh dengan problema yang diwarnai dengan suka dan duka.

Hari demi hari, bahkan hari pun berganti menjadi bulan. Aku dengan Cindy makin akrab saja. Seiring dengan berjalannya sang waktu, aku semakin yakin dan aku semakin tertarik pada Cindy. Aku tidak peduli lagi dia adik keIasku, karena yang kuketahui cinta adalah buta, tidak peduli adik kelas yang penting cinta ya tetap cinta. Tentang omongan teman-téman itu toh urusan belakangan.

“Cindy nanti pulang bareng, yah?”

“Ok…, Rud!”

Yah, begitulah kisah cintaku dengan Cindy. Berawal dari pertemuan disebuah bus, hingga saat ini kami pacaran. Hebat tidak ?

Pulang sekolah dan berangkat sekolah selalu bersama. Dan bus yang mempertemukan antara aku dan Cindy kini jadi langganan kami. Yah, tidak peduli dengan suara-suara sumbang di dalam bus, Kadang ada kata-kata yang mémbuat muka Cindy, merah padam.

“Duh lengketnya seperti lem sama perangko”.

“iya dong, jangan ngiri yah!”

ltulah yang aku lakukan menghadapi suara-suara sumbang di dalam bus. Cindy cuma memandangku sekilas atau sesekali menginjak sepatuku. mengisyaratkan untuk diam.
Hari-hari ceria telah kulewati bersama Cindy. Hingga sampai saat ini hubunganku dengan Cindy genap berjalan empat bulan. Yah, sebuah kenangan yang tak mungkin terlupakan.

Di suatu hari, tepatnya Selasa, 11 Oktober 1994. Cindy mengajakku bicara, kelihatan begitu serius aku jadi sedikit tegang, jangan-jangan, ah…kuhapus semua bayangan buruk itu.

“Rudy!”

“Yah!”

Cindy ragu sejenak, terdengar suaranya Iirih penuh perasaan.

“Kau pernah mengatakan kepadaku bahwa seorang yang bersimpati itu belum tentu dapat diartikan cinta, bukan?”

“yah!”.

“Bila kutanyakan simpati atau cintakah kau padaku?”

“Kedua-duanya,” jawabku hati-hati.

“Yakin?”

“Aku mencintaimu Cindy!”, “Aku mencintaimu semenjak kujumpai engkau di sebuah bus waktu itu.”

“ah!”

Kami terdiam sesaat. Suatu dugaan tiba-tiba menyelinap di benakku. Jangan-jangan ini hanya karena antara kakak kelas dan adik kelas, Yah, perbedaan yang sangat mencolok. Namun ini tak berlangsung lama. Setelah meIalui kesunyian yang panjang kudengar Cindy bérkata.

“Jangan salah duga, yang kumaksud bukan berbedaan tingkatan kelas, Rud!”

Hatiku terasa lapang juga ketika ia menjelaskan alasan klasik yang kutakuti itu. Kemudian kuraih tangannya dan kutatap matanya ia pun membalasnya. Di saat itu aku merasakan suatu perasaan asing tiba-tiba menjalar di dalam tubuhku. Kukira inilah perasaan cinta itu. Tapi sudah saatnya aku harus mengaku tetapi Cindy menutup bibirku dengan kelima jarinya.

“Dengar dulu jangan cepat marah. Dengarlah!” katanya meminta.

“Baiklah teruskan ceritamu!“ kataku

Cindy tertegun, matanya menatapku gelisah. Namun kata-katanya terucap juga.

“Sebenarnya aku sudah punya kekasih!”

Aku kaget sekali. Bahkan aku sampai tak berkedip memandangnya. Kuangkat dagunya kupandangi wajahnya lama-lama.

“Cindy benarkah itu?”

“Yah, setahun sudah aku menjalin hubungan dengan Tono yang begitu aku cintai, yang sekarang sekolah di Purwokerto. Setahun telah kujalani hari-hari bersamanya, walau selama ini aku berjumpa lewat surat. Yah, itulah jarak yang menghalangi cinta kami.”

“Cindy, jadi kau sudah setahun berhubungan dengan kekasihmu?”, “Jadi, hanya sampai di sini saja! Kataku dengan segumpal keputusan yang rasanya tersumbat di Ieher.

“Aku tidak tahu!” serunya sambil terisak.
Kupeluk Cindy, kuseka air matanya hati-hati. ltulah semuanya. Kenyataan yang tak pernah kubanyangkan. Ternyata Cindy yang aku cintai, Cindy yang aku sayangi dan Cindy yang aku damba. Ternyata telah menjadi milik orang lain. Ah, kenapa aku harus bertemu dengan Cindy di saat dia telah berdua. Nasib-nasib..!!!“

Kisah cintaku yang begitu pahit. Tapi siapa yang salah, Aku atau dia? Mungkinkah cinta yang harus kusalahkan?

Sekarang aku hanya bisa mengenang. Masa-masa pulang sekolah. Naik bus bareng, baik pulang ataupun berangkat sekolah. Tapi kini semua hanya tinggal kenangan dan tak mungkin akan terulang Iagi. Karena ternyata dia telah mempunyai tambatan hati di Purwokerto. Ah, mampukah aku melupakannya ?. Haruskan cintaku hanya sampai di sini. Yah, cinta, cinta... kenapa kau buat hati ini luka. Di saat hati ini sedang mengharap luapan kenyataan ini.

Cindy, walau hati ini tak kuasa menahan luka tetapi do’aku mengiringi Iangkahmu. semoga perjalanan cintamu abadi. Yah, hanya itulah yang dapat kulakukan.

Baca cerita cinta dan remaja lainnya ?

0 Comments:

Post a Comment