BEBERAPA REPRESENTASI GURU DALAM SATU ESENSI
Representasi #1
Saudaraku yang mulia, tidakkah engkau melihat bahwa ada sekelompok orang yang bekerja di sector pengajaran ? Dia telah melecehkan profesi yang mulia ini ketika ia menjadikannya sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan materi. Dia tidak memandang profesi ini kecuali dari dari sudut materi. Sesungguhnya profesi mengajar jauh lebih tinggi dan mulia dari sekedar profesi resmi atau sumber penghidupan. Ia adalah pekerjaan mencetak generasi dan membangun ummat. Memang hak setiap orang untuk mencari kehidupan yang layak dan mendapatkan sumber terhormat bagi rizkinya. Akan tetapi ini potret lain dari potret sebelumnya dimana pemiliknya melecehkan pengajaran. Ia tidak memilih profesi ini kecuali karena materi yang mengalir. Ambisi utama dan perhitungan pentingnya adalah untung rugi materi. Demikian pula dalam hal dorongan dan rintangan. Apakah orang yang pandangan dan ambisinya seperti ini bisa memikul amanat ? Apakah orang macam begini bisa diberi amanat untuk membimbing generasi dan menuntun anak-anak muda ? ini representasi #1
Representasi #2
Guru yang menyalahkan zamannya, mengeluhkan nasibnya, tidak mengambil hak liburnya, maka murid membuatnya beruban dan para orang tua melengkapi ketidak berdayaan anak-anak mereka. Guru bagi teman kita ini adalah orang yang bernasib paling buruk. Rekan-rekannya, sebagian dari mereka telah meraih kedudukan tinggi dan yang paling buruk nasibnya adalah yang bisa meminta izin kapanpun dia mau, hadir kapanpun dia mau, berinteraksi dengan kertas-kertas bisu, bukan dengan jiwa-jiwa yang beragam. Adapaun dia, maka dia hidup diantara kebisingan anak muda, teriakan anak-anak kecil, sesudah itu dia kembali ke pangkuan buku-buku tulis.
Ini potret lain, meskipun berbeda dengan potret sebelumnya, di mana ia pesimis pada saat temannya optimis. Dia melihat dengan mata kerugian ketika temannya melihat dengan mata keberuntungan. Meski begitu dia tetap tidak mengenal kemuliaan mengajar. Tidak berkompeten untuk mengarahkan. Hasil pendidikan seperti apa yang bisa diharapkan dari mereka ?
Representasi #3
Potret ini bisa jadi mempunyai sisi-sisi persamaan dengan potret pertama dan kedua, akan tetapi pemiliknya acuh tak acuh, kehilangan ghirah. Melihat putra-putri kaum muslimin berenang di air kerusakan, terjerat jarring kemaksiatan, tetapi tidak ada sedikitpun dari dirinya yang tergerak atau semangatnya yang terpicu. Itu bukan urusannya karena urusannya hanya mengajar fa’il dan maful (subyek dan obyek), atau menerangkan komposisi sesuatu dan teori-teorinya atau membuka rumus-rumus. Bahkan dia bisa saja mengajar ilmu-ilmu agama dan pendidikan islam. Meski demikian, realita para siswa tidak penting baginya sedikitpun.
Saya tidak mengerti pertimbangan apakah yang menguasai orang-orang seperti ini ? saya tidak mengetahui, mesti lebih heran dengan yang mana, realita anak-anak muda ataukah lemahnya pengajaran dan tidak aktifnya guru model ini ?
Representasi #4
Guru ini memikul beban mengajar karena terpaksa, bukan karena pilihan sukarela. Dia tidak mendapatkan pekerjaan lain selainnya, atau karena ia ingin menetap di daerahnya. Inilah satu-satunya pilihan untuknya, kondisinya seperti kata pepatah, “tidak ada rotan akarpun jadi”. Benar, termasuk haknya untuk memilih lahan pekerjaan. Akan tetapi orang seperti ini bisa jadi tidak memahami misi pengajaran dan kemuliaan pengajaran dan kemuliaan pendidikan.
Ketika kita menolak potret-potret diatas secara global dan terperinci, dan kita melihat perbedaan-perbedaan yang ada padanya, tetapi tetap berhakikat satu, yaitu melalaikan dan mencampakkan tanggung jawab. Lalu potret manakah yang kita inginkan, guru manakah yang kita idam-idamkan ?
Kita tidak ingin guru yang membuang dunia dibelakang punggungnya, mentalaknya tiga kali dan tidak peduli kepadanya sama sekali, atau guru yang tidak pernah berpisah dengan mihrabnya atau guru yang tidak ada sesuatupun besar atau kecil yang lepas darinya. Ini adalah potret-potret yang tinggi, akan tetapi tidak untuk semua orang.
Kita ingin guru yang selalu optimis dalam meraih sama dengan yang lain sumber rizkinya. Dia berpandangan bahwa dia berhak sama dengan yang lain menikmati keistimewaan-keistimewaan administrasi dan profesi. Akan tetapi semua keinginannya itu tidak berbalik menjadi tujuan pertama dan utama, satu-satunya tolok ukur dan pendorong penting bagi keputusannya untuk meniti jalan pengajaran. Dia memilih jalan ini untuk berbakti kepada ummat, mencetak generasi, dan mendidik tunas muda. Dia tersentuh melihat kenyataan anak-anak muda, menganggap mereka anak-anaknya. Dia berpandangan bahwa usaha memperbaiki mereka adalah skala prioritas profesinya, dan mendidik mereka merupakan tanggung jawabnya. Dia menunaikan tugas-tugas pekerjaan dengan baik untuk bisa menikmati gajinya dengan halal. Walaupun demikian dia tetap akan memperoleh keistimewaan-keistimewaan materi sama dengan yang lain. Diapun bisa hidup tenang dan tentram.
0 Comments:
Post a Comment