“Aku pengen nangis.”
“Ya tinggal nangis aja!”
“Masa di sini?”
“Masuk aja ke kamar.”
”Masih sore.”
“Tak mengapa. Pura-pura ngantuk aja".
Aku masuk kamar seperti yang dikatakannya. Dia mengikutiku. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur. Kulempar barang-barangku.
Kamar berantakan. Aku menangis. Dia masih tertegun. Aku tak peduli. Yang penting aku ingin melepaskan semua kesalahanya yang telah sekian lama kupendam.
Sekarang sudah bertumpuk-tumpuk. Hatiku sudah tak mampu lagi menyimpannya.
“Kenapa menangis?” tanya dia.
“Nggak tahu. aku kesal". Aku terisak.
“KesaI?" dia mengerutkan keningnya. 4
“Ya,” jawabku singkat.
”Dengan siapa? Mengapa?”
“Dengan semua orang, siapa saja, Aku tak dia menjawab, mengapa?
”Aku sendiri nggak tahu.”
“Kok bisa?”
“Tau!”
Aku sedang malas bicara. Aku cuma mau nangis, mengeluarkan semua perasaanku. Tangisku keluar begitu saja. Hatiku terasa perih.
“Aku banyak masalah,” kataku.
“Masalah apa?”
“Nggak tahu". ,
“Lhol Kok
“Bingung. Terlalu banyak sih”.
“Mengapa nggak cerita?”
“Sama siapa?"
“Kan ada aku".
“Kamu?"
"lya. Memangnya kenapa?”
Aku diam. Cerita padanya, tak pernah terpikir olehku. Begitu banyak masalahku sampai aku melupakannya.
Sekarang dia datang. Mengapa tidak? Tapi aku ragu. Mampukah dia menerima semua masalahku yang aku sendiri tak tahu apa saja. mampukah aku bercerita padanya? Sanggupkah aku?”
“Aku bingung harus mulai dari mana?”
“Tenangkan dulu dirimu"
"Nggak bisa”
Aku semakin terisak. Benakku seakan menjadi layar bioskop. Yang menampilkan adegan film begitu saja. Tak peduIi apakah adegan itu baik atau buruk.
Setiap adegan itu pasti akan mempengaruhi perasaan penonton. Penonton akan menangis bila ada adegan yang menyedihkan dan tertawa terbahak-bahak jika ada adegan yang menggelikan.
Tapi dalam benakku, semua adegan itu menyentuh perasaan hingga membuat hatiku merasa sedih. Bagaiamna tidak. Tokoh film itu adalah aku. Aku melihat diriku sendiri dalam film itu. Ya Tuhan, mengapa semuanya terjadi padaku?
”Mengapa aku menangis?”
“Karena kamu banyak masalah, dan tak mau mengungkapkannya pada orang lain" '
“Mengapa aku banyak masalah?”
“Mana aku tahu? Kamu sendiri nggak pernah cerita”.
“Mengapa aku nggak pernah cerita?”
“Mengapa? Dia mengangkat alis kirinya keheranan. Ya, mengapa, mengapa dan mengapa?”
Sejuta tanya bergejolak dalam hatiku. Aku berontak ingin tahu. Tapi tak seorang pun memberi tahu. Mengapa aku ini? Aku meringkuk menghadap tembok.
Tanganku memegang erat bantalku yang tinggal satu, karena lainnya sudah kulempar ke bawah tempat tidur.
“Kamu sedang bingung,". Tiba-tiba saja dia ikut merebahkan dirinya di sampingku.
“Aku tahu, dan aku sudah mengatakannya padamu,” Kamu butuh seseorang"
“Nggak. Aku nggak butuh siapa-siapa. Aku benci mereka semua”.
“Mengapa kamu benci mereka?”
“Karena mereka semua menyebalkan. Mereka telah menyakiti aku. Tapi mereka tak pernah merasa telah berbuat hal itu. Aku benci!”
“Mengapa kamu nggak bilang terus terang pada mereka'?"
“Nggak bisa. Aku nggak ingin hanya masalah sepele yang kubicarakan".
“Tapi mereka sudah menyakitimu"
“Tapi mereka juga baik padaku. Dan aku nggak pernah bisa marah pada mereka”.
“Siapa saja mereka?”
“Semuanya , yang aku kenal"
“Termasuk keluargamu?"
“Mungkin”
Ya Tuhan, dosa apa aku ini. Sampai kelurgaku pun kubenci. Padahal apa salah mereka? Apa lantaran aku terlalu memperbesar masalah? Apa hanya karena hal-hal kecil saja aku membenci mereka?
“Kamu pintar menutupi kenyataan" dia berkomentar Iagi.
“Cara bersikap dengan hati nuranimu sangat berlainan“,
“Hei, ngomong apa lagi dia?"
“Aku harus bagaimana?” tanyaku.
Terbuka. Bilang saja kalau kamu memang keberatan dengan slkap mereka.
“Nggak mungkin!”
“Why not?"
“Aku takut"
“Takut pada siapa?”
“mereka”
Aku terdiam. Tangisku mereda. Kurenungkan kata-katanya. Terbuka? Terbuka pada mereka? Tidak!
Aku sudah terbiasa memendam perasaanku sendiri sejak kecil. Aku beranggapan tak seorang pun akan mendengarkan dan mengerti aku.
Orang tuaku membatasiku dengan peraturan-peraturan yang tak kumengerti. Aku tak pernah berani mengeluarkan pendapatku sendiri.
Aku tak berani karena ada batasan itu. Tiba-tiba mataku terasa panas. Dadaku sesak. Airmataku keluar lagi.
“Aku merindukan seseorang”
“Sangat merindukan?"
“Pasti!”
“Hubungi saja dia"
“Nggak mungkin"
“Mengapa? Kamu toh belum mencoba”
“Hanya orang toIo! yang mencobanya”
“Hanya orang tolol yang menyerah sebelum mencoba”
“Tapi itu nggak mungkin!" aku teriak di antara isakan tangisku.
“Dia sangat berani buatmu?"
"Ya, dan aku nggak akan pernah bisa menemukan dia Iagi” ~
“Tell me, why?”
“Karena dia sudah pergi. Jauh, jauh sekali. Tak seorang pun akan mencapai tempat dia berada sekarang. Kecuali atas ijin Tuhan”
“Mati?”
“Meninggal dunia, jangan pakai kata mati untuk orang yang sangat terhormat" Aku semakin terisak.
Ah, mengapa. Mengapa dia pergi? Tak tahukah bahwa aku masih sangat membutuhkannya. Kepergiannya sempat mengguncang jiwaku.
Bahkan sampai sekarang pun masih amat sulit menerima kenyataan bahwa dia telah pergi.
“Apa pendapatmu tentang aku?" Aku mengalinkan pembicaraan.
“Sensitif. Tertutup, penakut, mudah tersinggung, cepat putus asa. Kamu sendiri tidak, tahu apa yang kamu inginkan. Kamu selalu menutupi kenyataan. Kamu nggak ingin orang lain tahu bagaimana kamu sebenarnya. Yang kamu inginkan, mereka hanya tahu bahwa kamu baik-baik saja. Kamu terlalu pengalah meskipun kadang terpaksa”
“Aku harus bagaimana?”
”Merubah sikap”
”Nggak bisa!”
“Kamu selalu begitu sihl Jiwamu tergoncang”
”Aku rasa memang begitu”
“Syukurlah kalau kamu tahu“
“Aku bisa depresi?”
”Ya, kalau kamu sangat tertekan.” Aku takut”.
”Makanya jangan tekan dirimu sendiri”
“Aku benci diriku sendiri. Aku nggak pernah bangga menjadi diriku sendiri. Aku selalu iri dengan orang lain.”
“Buanglah itu jauh-jauh”
“Lalu bagaimana j dengan masalahku'?"
“Pergi saja ke Psikolog"
“Ngapain? Cuma buang-buang duit saja. Emang kamu mau keluar uang buat aku?
“Aku nggak pernah memakai uang, karena aku tak perlu uang"
Sudah Iarut malam, bahkan hampir pagi. Aku belum tidur dan masih tetap menangis.
“Sudahlah, tenangkan pikiranmu"
“Kamu jangan pergi. Aku butuh kamu"
“Untuk apa?"
“Untuk menjadi temanku, tentu saja”
“Temanmu kan banyak?"
“Tapi nggak ada yang seperti kamu"
“Waktunya tinggal sebentaf’
“Mengapa tak mau tinggal untukku?"
“Bukannya tak mau, tapi tak bisa"
“Mengapa?" Akun histeris. Tak ingin melepaskannya pergi.
"Karena tempatku bukan di sini. Tapi di dalam hatimu. aku akan selalu bersamamu. Percayalah. Aku tak akan pernah pergi darimu. karena kau merupakan bagian dari hatimu. Dekatkanlah dirimu pada Tuhan. Hanya dia yang bisa membantumu."
Dia mengusap wajahku dan menutup mataku. Akhirnya aku tertidur. Aku bangun sudah pagi. Aku menangis Iagi. Aku tak mendapatinya tidur di sampingku. Dia memang benar-benar pergi
“Dekatkan dirimu pada Tuhan” itu pesannya.
Aku tersenyum. Tempatnya memang bukan di sini, tapi di dalam hatiku. Kepenatanku hilang sudah. Mataku sembab, Entah berapa lama aku menangis, lngat Tuhan. Ya, hanya Tuhan karena hanya dia yang bisa membantu.
0 Comments:
Post a Comment