CERITA PENDEK THE POWER OF SYUKUR

CERITA PENDEK THE POWER OF SYUKUR - Hallo...sahabat kumpulan tulisan 25 yang dirahmati Allah, senang sekali masih dapat menyapa sahabat-sahabat semua. Kali ini kumpulan tulisan 25 persembahkan sebuah cerpen kiriman Putri Wahyuni yang berjudul THE POWER OF SYUKUR

Karya ini masuk ke meja redaksi kami pada tanggal 17 Juni 2020 dan Alhamdulillah telah lolos moderasi.Selamat membaca dan jangan lupa berikan apresiasi positif dengan berkomentar yang sopan dan membangun.

Namanya desa Citarum, didesa tersebut terdapat sebuah keluarga yang sangat miskin. Lusi, adalah seorang janda berumur 35 tahun yang menafkahi tiga orang anak. Suaminya telah dulu menghadap sang Illahi ketika merantau ke Kota. Mereka menikah muda. Keluarganya sangat dipandang sebelah mata oleh orang-orang sekitar. Sebab Lusi memiliki anak kembar yang berkebutuhan khusus dan satu orang anak sulung yang normal. Bram, menjadi anak sulung satu-satunya yang diharapkan Ibunya kelak menjadi tulang punggung keluarga sekaligus penyemangat untuk adik-adiknya.

Untuk kebutuhan sehari-hari Lusi hanya mampu mengutip botol-botol bekas lalu dijual untuk kebutuhan makan mereka. Sementara Bram yang masih berumur 10 tahun dirumah menjaga adik-adiknya Boni dan Beni yang berumur 2 tahun. Bram tidak sekolah karna ibunya tak mampu untuk membiayainya. Sehari-hari Ibunya lah yang menjadi guru bagi Bram, mulai dari belajar membaca, menulis, tuntunan shalat serta mengaji al-quran. Mereka memang miskin harta namun tidak miskin Ilmu. Begitulah, meskipun religius namun masyarakat desa tak sedikitpun memandang mereka dengan kedua mata, tetap saja dengan sebelah mata.

Bahkan saat Lusi sedang mengutip botol-botol bekas, sering kali ia mendapat cibiran dari tetangga-tetangganya. Terutama yang selalu mereka tanyakan mengapa Bram tidak disekolahkan padahal anaknya normal. Namun lagi-lagi Lusi harus memutar otak untuk menjawab pertanyaan monoton itu. Jika ia menjawab karna tak punya biaya, pasti orang-orang itu akan terus menghina keluarganya. Maka ia pun menjawab “pendidikan tak selalu ditempuh digedung yang mewah, tak juga dengan biaya yang mahal, apalagi Guru yang berwibawa. Asalkan yang mengguruinya adalah orang yang tak pernah putus asa” permisi.

Dengan lembut namun lantang yang terucap oleh Lusi lalu ia pergi meninggalkan segerombolan orang-orang itu. Namun orang-orang itu pun tak dapat membalas jawaban Lusi meskipun raut tatapan mereka tampak sinis dan seperti tak meyakinkan Lusi bahwa ia bisa menghidupkan anak-anaknya. Beberapa tahun pun telah terlalui oleh Lusi. Kini Bram pun menginjak umur 15 tahun. Ia tak lagi belajar dengan ibunya, justru ia belajar dari lingkungannya. Tentang apapun itu mulai dari politik, bisnis, perkebunan, dll. Meskipun yang didapat hanya dengan mendengar obrolan-obrolan orang sekitar.

Kadang pun ia pergi ke taman belakang sekolahan membawa pena dan buku lalu mengintip anak-anak yang sedang belajar dikelas dan mencatat apapun yang diterangkan guru itu ketika menjelaskan mata pelajaran. Lalu ia membawa nya pulang. Sebagai orang yang tak berkepunyaan, Bram tak mengharap cita-cita yang tinggi. Ia hanya berharap garis hidupnya suatu hari nanti akan berbalik 180 derajat. Ia tak tega jika ibunya terus-terusan menjadi buah bibir orang-orang, apalagi keluarganya yang selalu dipandang sebelah mata. Jangankan mengharap bantuan, menerima tegur sapa pun tak pernah didapatkan keluarganya.

Untuk keseharian nya, Bram sedikit demi sedikit mulai membantu biaya sehari-hari dengan bekerja sana sini, asalkan pekerjaan itu halal. Mulai dari bekerja bangunan, membajak sawah, semir sepatu, menjual koran, hingga membantu petani. Uang dari hasil jerih payahnya itu diberikan ke ibunya, sebagian dari sisa nya ia tabung di kaleng bekas. Kebutuhan mereka sedikit demi sedikit pun mulai terpenuhi. Jika dahulu mereka hanya bisa makan sehari sekali, kini mereka dapat makan dua kali sehari meskipun lauknya hanya itu-itu saja. Setiap saat ingin makan bersama, Lusi selalu memandangi anak-anaknya dengan mata berkaca-kaca.

Beruntungnya ia memiliki anak-anak yang mau menerima keadaan keluarga, tak seperti kebanyakan anak diluar sana yang masih mengeluh padahal berkecukupan. Lusi selalu yakin akan ada saatnya roda kehidupan mereka yang kini berada dibawah akan berubah menjadi diatas. Ia tak pernah sedikitpun menyesali kehidupannya bahkan kepergian suaminya. Mungkin ini memang takdir terbaik yang diberi tuhan untuk keluarga mereka. Bram juga sering bercerita pada ibunya pada saat ia bekerja ada saja anak sebayanya yang mengejeknya, bahkan tak sedikit pula yang melemparinya.

Namun Lusi tak marah apalagi berniat menghampiri anak-anak yang telah mengejek Bram, justru ia menyemangati Bram dengan mengatakan bahwa dirinya telah mendapatkan pekerjaan dikomplek sebelah. Walaupun ia hanya bekerja sebagai penyapu jalanan. Meskipun tampak rendah dimata orang-orang, namun Lusi dan Bram justru tak henti-hentinya mengucapkan syukur karena telah diberi rezeki oleh tuhan. Keesokan paginya pukul 07.00 wib, Lusi pamit bekerja kepada anak-anaknya untuk pergi lebih awal, seperti biasa jika ia hendak keluar rumah ia selalu berpesan pada Bram untuk menjaga adik-adiknya dirumah.

Lusi menyapu jalanan sepanjang Kompleks hingga Terminal. Jarak nya sekitar 1 km yang harus dilaluinya, belum lagi ia harus membersihkan parit-parit jalanan. Setelah beberapa saat ia menyapu, ia berhenti sejenak disebuah Halte untuk beristirahat. Ia tak sengaja melihat sebuah Map besar. Dilihatnya sekitaran tidak ada orang, “ah mungkin saja ini barang yang tertinggal” pikirnya. Lalu ia membukanya dan ternyata isinya sebuah kartu nama dan beberapa lembar kertas. Ia menyangka bahwa itu adalah berkas penting. Dan ia pun berniat untuk mencari tahu keberadaan si pemilik untuk mengembalikannya.

Matahari semakin naik hingga menciptakan kilauan dikaca-kaca gedung. Lusi melihat jam sudah pukul 10.45 wib. Masih ada waktu beberapa jam untuk mengembalikan Map itu kepada pemiliknya sebelum ia kembali kerumah dan makan siang bersama anak-anak, pikirnya. Dilihatnya sepanjang jalan sudah bersih tak ada sampah. Lalu ia bergegas membereskan peralatannya dan pergi untuk mencari keberadaan pemilik Map itu. Ia pergi mencari kearah Timur, dan menemukan sebuah rumah gedung bernomor 8A sesuai dengan yang tertera dikartu nama. Lusi mencoba memencet bel dan berharap pemilik rumah keluar.

Dan benar, terlihat laki-laki separuh baya dengan badan tegap serta pakaian rapi yang keluar dari dalam rumah itu. Dari kejauhan pria itu terheran-heran melihat siapa yang datang kerumahnya. Lalu ia menghampiri dan membukakan pagar. Yup, dilihatnya seorang wanita lengkap dengan baju petugas kebersihan, berkerudung hitam, dan berkulit putih. Namun matanya terfokus dengan apa yang dibawa oleh Lusi. Tidak salah lagi itu benar Map yang dicari-carinya kemanapun namun tetap tak ada. Pria itupun heran mengapa Map berisi berkas pentingnya ada pada wanita penyapu jalanan itu.

“Permisi, apa benar ini rumah pak Widjaya?”

“iya, saya sendiri” ujar pria itu.

“pak, saya mau mengembalikan Map ini yang saya temui di Halte tadi” dengan sedikit canggung Lusi memberikan Map itu kepada pemiliknya.

“oh iya, ini memang Map saya, didalamnya ada berkas yang sangat penting, terima kasih sudah mengembalikan Map ini. Mari masuk dulu saya buatkan teh”

“tidak perlu repot-repot pak, saya hanya mau mengembalikan Map itu saja”

Pria itu hanya merespon dengan senyum manis sambil mengambil dompet disaku celananya dan memberi sepuluh lembar uang seratusan.

“ya sudah kalau begitu terima saja ini, anggap saja ucapan terima kasih saya kepada kamu karena sudah menyelamatkan berkas saya” pria itu meraih tangan Lusi dan menyelipkan uang itu ke genggaman Lusi.

Lusi pun kaget akan hal itu, spontan ia langsung mengembalikannya pada pria itu, ia sebelumnya tak pernah mempunyai uang sebanyak itu. Lantas pria itu pun heran, ada apa sebenarnya dengannya.

Pria itu pun menghembus nafas, seperti kehabisan akal untuk membalas budi baik Lusi.

Dilihatnya Lusi memakai seragam kebersihan, Pria itupun akhirnya tau apa yang pantas diberikan kepada Lusi.

“kelihatannya kamu seorang penyapu jalanan. Jika kamu tidak keberatan kamu bisa bekerja dengan saya, menjadi asisten rumah tangga. Kebetulan saya hanya tinggal sendirian dirumah ini, dan saya sangat membutuhkan asisten rumah tangga untuk membantu keseharian saya”.

Mendengar itu Lusi pun tak menyangka akan ditawarkan pekerjaan yang jauh lebih layak untuknya, ia tak tahu harus bagaimana lagi ia menceritakan nikmat bertubi-tubi ini kepada anaknya dirumah. Hingga rasa syukur sudah seperti menjadi makanan pokok bagi mereka.

“terima kasih banyak pak, dengan senang hati saya mau menerima tawaran bapak untuk bekerja dirumah ini” dengan raut tak menyangka dan mata berkaca-kaca Lusi berterima kasih.

“Tapi ada syaratnya” ujar pria itu dengan raut seperti mencurigakan. Spontan raut wajah Lusi yang semula gembira pun tiba-tiba berubah menjadi panik.

“apa itu pak?” tanya Lusi.

“syaratnya kamu juga harus tinggal dirumah ini”

“sepertinya tidak mungkin pak, saya mempunyai anak yang masih kecil dan saya tidak mungkin meninggalkan mereka”

“kalau begitu bawa anakmu untuk tinggal disini”

Mendengar itu Lusi pun semakin tak karuan, apa mungkin pria itu mau menerima dua orang anaknya yang berkebutuhan khusus. Lusi seperti ingin menyerah saja. Dia tak sanggup jika nantinya pria itu tak bisa menerima Boni dan Beni.

“bawa juga anak-anakmu yang berkebutuhan khusus, dan saya akan memanggil terapis untuk mereka”

Lusi terkejut mendengarnya. Bagaimana pula pria itu bisa tahu bahwa ia mempunyai anak yang berkebutuhan khusus. Namun Lusi hanya diam. Ia tidak mau menanyakan soal itu, karena ia tahu pasti pria itu mendengarnya dari omongan-omongan orang sekitar. Tapi Lusi tak mengapa, Karena pria itu mau menerima dengan baik keluarganya bahkan anak-anaknya, semua yang dikhawatirkannya sudah terbuka. Ia pun segera permisi pada pria paruh baya itu untuk segera kembali kerumah dan menceritakan kabar bahagia ini kepada anak-anaknya. Keesokan harinya ia kembali kerumah itu lagi dengan membawa anak-anaknya.

Pak Widjaya, sekarang telah menjadi majikannya. Ia menyambut kedatangan Lusi dengan senang hati. Pak Widjaya rupanya sangat baik, berbeda dengan orang-orang dikampungnya. Mungkin Tuhan telah memberi Lusi karunia melalui majikannya itu. Lusi sangat bersyukur mempunyai pekerjaan tetap serta tempat tinggal yang sangat layak, dia tak perlu lagi menampung tetesan air hujan dari atap rumahnya. Dan tak khawatir lagi rumahnya akan tumbang jika angin badai menerpa. Ternyata doanya selama ini terkabulkan. Ia percaya, jika selalu mensyukuri apa yang ada akan membuatnya mempunyai segalanya.

Setelah setahun lamanya Lusi tinggal dirumah itu, ia seperti merasa tertarik dengan majikannya itu. Wanita mana yang tak terkesima dengan pria yang baik hati dan sangat menghormati orang lain. Namun sepertinya hal itu tak mungkin terjadi, “mana ada pria seperti pak Widjaya yang tertarik dengan janda miskin sepertiku”, pikirnya. Dia pun perlahan-lahan mulai menghapus perasaannya itu kepada majikannya, meskipun ia sempat berpikiran untuk mencari ayah pengganti bagi anak-anaknya. Tiba-tiba terdengar suara orang membuka pintu, dilihatnya ternyata itu pak Widjaya yang baru saja keluar dari kamar.

Rupanya ia menuju ke dapur dan menghampiri Lusi. Sontak saja jantung Lusi semakin berdebar tak karuan. Majikannya itu mengatakan bahwa ia ingin berbicara dengan Lusi di ruang tamu, sekarang. Lusi pun menuruti permintaan majikannya. Ia semakin deg-degan memikirkan apa yang akan disampaikan pak Widjaya, apakah dirinya akan dipecat karena pekerjaannya tidak becus. Lusi semakin cemas. Tibalah mereka duduk berhadapan diruang tamu yang luas, hanya ada mereka berdua. Lalu pak Hans memulai pembicaraan.

“Lusi, saya ingin mengatakan sesuatu, kamu kan sudah lama tinggal dirumah ini dengan anak-anak. Hanya saya, kamu dan anak-anakmu. Saya tidak mau orang-orang menuduh kita sebagai yang bukan mahramnya tinggal berduaan dirumah ini meskipun hanya sebatas majikan dan pembantu. Saya pun sejak awal sudah tertarik denganmu, saya tidak pernah memandang derajatmu. Bahkan semakin kesini saya semakin yakin kamu bisa menjadi ibu terbaik, apalagi saya melihat kamu sangat sabar mendidik ketiga anakmu. Kita sama-sama masih muda. Masih banyak waktu untuk kembali berumah tangga. Saya juga duda”.

Mendengar itu Lusi pun tak menyangka dirinya seperti sedang bermimpi. Ia tahu maksud dari majikannya itu. Lusi pun mengatakan bahwa ia mau menerima ajakan pak Widjaya. Beberapa bulan setelahnya mereka pun menikah. Lusi resmi menjadi istri Widjaya, dan benar saja hidupnya berubah 180 derajat. Mereka dikaruniai anak perempuan. Pada akhirnya hidup mereka pun sejahtera, begitu pun yang dirasakan Bram, Boni dan Beni.

Baca cerita pendek lainnya ?